![]() |
| unsplash.com/Kristina |
Sedikit-dikit baper, bentar-bentar bilang baper, gini doang baper, gitu aja baper.. Kenapa kata baper itu harus membumi di kancah perbincangan khalayak ramai? Bosan juga dimana-mana yang keluar baper lagi, baper lagi. Orang-orang jadi pada latah ngomongin baper, semuanya dikaitkan dengan baper. Sampai-sampai ada pemimpin negara yang dicap ‘baperan’ oleh para netizen budiman. Oke skip.
Di kalangan anak muda, baper ini adalah singkatan dari ‘bawa perasaan’. Baper ini muncul saat seseorang dinilai terlalu sensitif dalam menanggapi sesuatu hal. Baik itu secara verbal, tulisan maupun perlakuan. Seseorang akan dengan mudah mendapatkan embel-embel ‘baperan’ saat tak bisa menerima komentar atau perlakuan orang lain.
Realitas sosial di masyarakat kini semakin banyak mengalami pergeseran. Secara sadar atau tidak sadar ada banyak hal yang tak lagi memiliki esensi seperti dulu. Termasuk salah satunya dampak dari kebebasan orang dalam bersosial media yang secara langsung atau tidak langsung melahirkan fenomena ini. Fenomena baper yang khusus dibahas kali ini adalah yang terkait dengan ketersinggungan atas sikap orang lain.
Jadi, tulisan ini akan jadi penyambung lidah orang-orang yang sering banget dikatain baper karena tersinggung sama orang lain. Supaya kita melihat baper itu tidak hanya sebagai kata yang dianggap bercandaan. Please, terlalu banyak hal bisa dibecandain yang nggak harus libatin perasaan orang lain.
Kalau di zaman dulu ketika ada orang yang merasa tersinggung dengan perlakuan orang lain, maka orang tersebut akan segera meminta maaf, simple. Pastinya minta maaf tanpa mukaddimah macam gini “Yah elah gitu doang baper amat sih, yaudah maaf..”.
Coba saja dibandingin dengan maaf yang model begini “Oh iya aku salah, maaf kalau udah buat tersinggung”. Pasti terasa kan ya bedanya dua pernyataan maaf di atas. Orang akan lebih mudah menerima permintaan maaf yang kedua karena lebih terasa tulusnya.
Semenjak ada kata baper semua hal dianggap semakin terlihat wajar pula. Baik itu merasa bebas berkomentar, bebas memberi penilaian, bebas melakukan apa yang diinginkan, atau sekadar bebas berekspresi. Tidak ada salahnya memang jika semua dilakukan dalam koridor yang tepat. Namun jika itu semua akan melegalkan perbuatan yang akan menyakiti orang lain apa masih dibilang wajar?
Gini deh, semua orang punya hati dan perasaan dan kadarnya pasti berbeda-beda. Nah karena kadarnya itu yang berbeda-beda, ketika kita menemukan seseorang dengan kadar toleransi di bawah kita maka ya sudah tinggal minta maaf saja. Sesederhana itu sebenarnya dan nggak perlu harus dibesar-besarkan dan dibuat rumit.
Coba pikir, apa susahnya meminta maaf? Sebenarnya tidak sulit mengucap maaf, toh itu bisa diucapkan dalam hitungan detik dan tidak menghabiskan kalori di tubuhmu. Sebenarnya memang bukan maaf yang sulit terucap, tetapi gengsi yang setinggi bintang. Iya bintang yang nggak pernah bisa dijangkau itu, setinggi itulah ego manusia.
Mungkin prinsipnya kalau sudah minta maaf berarti mengaku salah, dan kalau sudah salah mikirnya orang lain akan merasa menang. Pasti pikiran itu ada dibenak setiap orang yang sulit banget buat ngucapin maaf. Atau kalau tidak, memang dia aja orangnya yang merasa selalu benar. Kata maaf akan membuat harga dirinya dianggap jatuh dan tercabik-cabik.
Kita hidup di zaman dimana membangun reputasi itu sangat penting, bahkan tak peduli dengan menginjak orang lain agar terlihat tinggi. Jika menemukan seseorang yang tidak sefrekuensi, maka dengan mudahnya akan dinilai bahwa dia tidak layak dan dianggap baperan. Padahal kita diciptakan berbeda-beda agar hidup ini penuh warna.
Lalu mengapa kita tidak bisa menghargai perbedaan tersebut? Kata maaf, tolong dan terima kasih adalah tiga kata sakti yang seharusnya bisa terus tumbuh subur dalam kehidupan. Tetapi kini maknanya kian kabur dan semakin semu bahkan semakin jarang digunakan. Menyedihkan memang karena setiap orang akan menghadapi kenyataan yang nggak semuanya dapat ditanggung oleh hati.
Gini aja deh, minta maaf yang tulus dari hati aja kadang masih menimbulkan bekas luka di hati orang lain. Apalagi kalau cuma maaf yang dari lidah, diucapkannya terpaksa pula. Jangan sampai itu membuat orang jadi sakit hati dan berbuat hal-hal tak terduga hanya karena perkataan sepele, yakni baperan.
Setiap orang dibekali akal untuk berpikir kok, tetapi masalahnya nggak semua orang mau berpikir. Hanya bercanda, toh semua kembali ke pribadi masing-masing menilai seperti apa dirinya. Cuma buat bahan introspeksi aja, kalau ternyata sudah banyak orang yang menjadi korban kata-kata baper itu.
Jadi, melalui tulisan ini yang semoga saja banyak dibaca orang setidaknya bisa semakin banyak orang yang bijak dalam berkata-kata. Termasuk berkata-kata dalam sosial media atau pun pergaulan sehari-hari. Faktanya tidak semua orang punya kadar toleransi becandaan yang sama.
Sehingga berhati-hatilah dalam berucap jangan sampai menyinggung orang lain. Kalau sudah menyinggung pastinya harus tulus minta maaf tanpa judge dia baperan pastinya. Kamu nggak mau kan kalau tiba-tiba muncul di headline berita “Maaf ditolak, dukun bertindak..iiih sereem..!”.



0 komentar:
Posting Komentar