12/01/21 0 komentar

Fenomena Munculnya Kata ‘Baper’ yang Kian Membuat Orang Sulit Minta Maaf

unsplash.com/Kristina

Sedikit-dikit baper, bentar-bentar bilang baper, gini doang baper, gitu aja baper.. Kenapa kata baper itu harus membumi di kancah perbincangan khalayak ramai? Bosan juga dimana-mana yang keluar baper lagi, baper lagi. Orang-orang jadi pada latah ngomongin baper, semuanya dikaitkan dengan baper. Sampai-sampai ada pemimpin negara yang dicap ‘baperan’ oleh para netizen budiman. Oke skip.

Di kalangan anak muda, baper ini adalah singkatan dari ‘bawa perasaan’. Baper ini muncul saat seseorang dinilai terlalu sensitif dalam menanggapi sesuatu hal. Baik itu secara verbal, tulisan maupun perlakuan. Seseorang akan dengan mudah mendapatkan embel-embel ‘baperan’ saat tak bisa menerima komentar atau perlakuan orang lain.

Realitas sosial di masyarakat kini semakin banyak mengalami pergeseran. Secara sadar atau tidak sadar ada banyak hal yang tak lagi memiliki esensi seperti dulu. Termasuk salah satunya dampak dari kebebasan orang dalam bersosial media yang secara langsung atau tidak langsung melahirkan fenomena ini. Fenomena baper yang khusus dibahas kali ini adalah yang terkait dengan ketersinggungan atas sikap orang lain. 

Jadi, tulisan ini akan jadi penyambung lidah orang-orang yang sering banget dikatain baper karena tersinggung sama orang lain. Supaya kita melihat baper itu tidak hanya sebagai kata yang dianggap bercandaan. Please, terlalu banyak hal bisa dibecandain yang nggak harus libatin perasaan orang lain. 

Kalau di zaman dulu ketika ada orang yang merasa tersinggung dengan perlakuan orang lain, maka orang tersebut akan segera meminta maaf, simple. Pastinya minta maaf tanpa mukaddimah macam gini “Yah elah gitu doang baper amat sih, yaudah maaf..”.

Coba saja dibandingin dengan maaf yang model begini “Oh iya aku salah, maaf kalau udah buat tersinggung”. Pasti terasa kan ya bedanya dua pernyataan maaf di atas. Orang akan lebih mudah menerima permintaan maaf yang kedua karena lebih terasa tulusnya.

Semenjak ada kata baper semua hal dianggap semakin terlihat wajar pula. Baik itu merasa bebas berkomentar, bebas memberi penilaian, bebas melakukan apa yang diinginkan, atau sekadar bebas berekspresi. Tidak ada salahnya memang jika semua dilakukan dalam koridor yang tepat. Namun jika itu semua akan melegalkan perbuatan yang akan menyakiti orang lain apa masih dibilang wajar?

Gini deh, semua orang punya hati dan perasaan dan kadarnya pasti berbeda-beda. Nah karena kadarnya itu yang berbeda-beda, ketika kita menemukan seseorang dengan kadar toleransi di bawah kita maka ya sudah tinggal minta maaf saja. Sesederhana itu sebenarnya dan nggak perlu harus dibesar-besarkan dan dibuat rumit.

Coba pikir, apa susahnya meminta maaf? Sebenarnya tidak sulit mengucap maaf, toh itu bisa diucapkan dalam hitungan detik dan tidak menghabiskan kalori di tubuhmu. Sebenarnya memang bukan maaf yang sulit terucap, tetapi gengsi yang setinggi bintang. Iya bintang yang nggak pernah bisa dijangkau itu, setinggi itulah ego manusia.

Mungkin prinsipnya kalau sudah minta maaf berarti mengaku salah, dan kalau sudah salah mikirnya orang lain akan merasa menang. Pasti pikiran itu ada dibenak setiap orang yang sulit banget buat ngucapin maaf. Atau kalau tidak, memang dia aja orangnya yang merasa selalu benar. Kata maaf akan membuat harga dirinya dianggap jatuh dan tercabik-cabik.

Kita hidup di zaman dimana membangun reputasi itu sangat penting, bahkan tak peduli dengan menginjak orang lain agar terlihat tinggi. Jika menemukan seseorang yang tidak sefrekuensi, maka dengan mudahnya akan dinilai bahwa dia tidak layak dan dianggap baperan. Padahal kita diciptakan berbeda-beda agar hidup ini penuh warna.

Lalu mengapa kita tidak bisa menghargai perbedaan tersebut? Kata maaf, tolong dan terima kasih adalah tiga kata sakti yang seharusnya bisa terus tumbuh subur dalam kehidupan. Tetapi kini maknanya kian kabur dan semakin semu bahkan semakin jarang digunakan. Menyedihkan memang karena setiap orang akan menghadapi kenyataan yang nggak semuanya dapat ditanggung oleh hati.

Gini aja deh, minta maaf yang tulus dari hati aja kadang masih menimbulkan bekas luka di hati orang lain. Apalagi kalau cuma maaf yang dari lidah, diucapkannya terpaksa pula. Jangan sampai itu membuat orang jadi sakit hati dan berbuat hal-hal tak terduga hanya karena perkataan sepele, yakni baperan.

Setiap orang dibekali akal untuk berpikir kok, tetapi masalahnya nggak semua orang mau berpikir. Hanya bercanda, toh semua kembali ke pribadi masing-masing menilai seperti apa dirinya. Cuma buat bahan introspeksi aja, kalau ternyata sudah banyak orang yang menjadi korban kata-kata baper itu.

Jadi, melalui tulisan ini yang semoga saja banyak dibaca orang setidaknya bisa semakin banyak orang yang bijak dalam berkata-kata. Termasuk berkata-kata dalam sosial media atau pun pergaulan sehari-hari. Faktanya tidak semua orang punya kadar toleransi becandaan yang sama.

Sehingga berhati-hatilah dalam berucap jangan sampai menyinggung orang lain. Kalau sudah menyinggung pastinya harus tulus minta maaf tanpa judge dia baperan pastinya. Kamu nggak mau kan kalau tiba-tiba muncul di headline berita “Maaf ditolak, dukun bertindak..iiih sereem..!”.

0 komentar

Single Tapi Se-gank Sama Temen yang Sudah Pada Nikah Semua Itu Fix Gak Asyik!!

 

unsplash.com/Priscilla du Preez

Dalam banyak kehidupan bersosial seseorang biasanya memiliki satu atau bahkan lebih kelompok orang yang kerap dijadikan teman dekat. Entah itu karena kesamaan visi, nasib atau hanya sekadar nyaman dan nyambung saja. Biasanya pertemanan itu menjadikan kelompok-kelompok kecil orang yang disebut sebagai geng pertemanan.

Mulai dari anak muda bahkan hingga orang dewasa biasanya akan memiliki geng pertemanan tersebut. Bisa terbentuk saat masih di sekolah, kampus, organisasi dan sebagainya. Ada yang bilang jika sebuah pertemanan sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun, biasanya akan awet hingga tua. Setidaknya itulah mengapa tidak banyak orang memiliki teman yang awet. Semua orang akan berubah seiring berjalannya waktu. Hanya segelintir teman saja yang akan tinggal.

Meskipun begitu ternyata punya teman yang sudah kita kenal lama nyatanya tidak juga berjalan semulus pepatah tersebut. Akan ada momen dimana kamu merasa sedikit banyak tidak nyaman bahkan saat bersama mereka. Dalam kebanyakan kasus adalah saat geng pertemanan itu sudah pada menikah semua dan tersisa kamu sendirian yang masih single. Jangan ditanya bagaimana rasanya, kebanyakan orang akan menutupi itu di depan para temannya.

Pertanyaan-pertanyaan tentang kapan menyusul itu bakalan terus menghantui di setiap pertemuan. Atau bahkan dalam grup chat sekalipun, sindiran-sindiran konyol itu kerap ada. Awalnya sih biasa aja, tetapi lama kelamaan kok illfeel juga ya. Gini ya Sob, dalam hidup kita yang singkat ini tidak ada satu orang pun yang tau bakal bagaimana jalan hidupnya. Tidak ada yang tau kapan datang waktu untuk bisa sukses, berumah tangga, punya anak dan sebagainya.

Nah, ketika ternyata kamu lebih dulu bisa menggapai salah satu dari tujuan hidup tersebut, tolong jangan terlalu berbesar hati. Kamu boleh terlihat peduli dan selalu memberikan dukungan untuk temanmu yang single. Tetapi jangan menghakimi dan memberikan lontaran kalimat yang mungkin akan menyakitkan hati.

Nasihat yang paling bijak nyatanya sering diberikan seakan sudah hidup ratusan tahun dan punya pengalaman segudang. Terlebih saat mereka tau umur kamu sudah berada di titik kritis usia untuk menikah yang seharusnya juga sudah punya dua anak. Jangan pilah-pilih, punya kriteria pendamping tidak boleh terlalu tinggi, mau nunggu apa lagi sih. Setidaknya kalimat itu sering banget terdengar di telinga.

Belum lagi buat kaum hawa, sindiran susah memiliki anak dan berisiko tinggi hamil di usia tua akan selalu menakutkan. Saya tidak mengerti mungkin bagi mereka ‘keperdulian’ semacam itu adalah wajar. Atau kah saya yang memang terlalu membawa perasaan?? Well, jika posisinya dibalik mungkin mereka akan merasakan hal yang sama.

Misalnya saja saya yang memiliki tiga orang teman yang sudah dekat sejak tahun 2003 hingga kini. Kurang lebih sudah 17 tahun kami saling mengenal dan berbagi hal menarik di dalam hidup. Tentunya segala seluk beluk, suka dan duka sudah saling dipahami satu sama lain. Tetapi ketika momen mereka semua telah berkeluarga tiba, disaat itu saya sadar semua tak lagi sama.

Sebagai orang seorang single, saya merasakan kecanggungan yang tidak dapat dilukiskan kata. Saat mereka membahas masalah kehamilan, anak, suami, kerempongan menjadi seorang ibu, saya tidak bisa relate akan hal tersebut. Dan parahnya ketika sering ada guyonan tentang urusan ‘dapur mereka’ yang harusnya jadi hal privasi. Sungguh itu tidak lucu sama sekali Sob!

Memang saya memaklumi ketika meet up mereka harus membawa serta anak mereka dan saya memaklumi akan hal itu. Toh, saya juga senang dengan anak-anak jadi bisa sekalian main dengan mereka. Tetapi daripada hal yang menyenangkan ternyata lebih banyak gak enaknya.

Salah satu contoh, saat itu saya pernah janjian ke suatu tempat bersama salah seorang teman, tetapi dia terlambat dua jam lebih. Posisi saya sudah ready, dia belum datang dan sudah dihubungi puluhan kali tetapi tidak ada respon. Akhirnya dia datang tanpa permintaan maaf dan bilang kalau terlambat karena harus mengurus anaknya dulu.

Mengapa tidak mempersiapkan lebih awal? Atau setidaknya memberitahu bahwa akan datang terlambat? Toh, hal-hal tersebut bisa dia antisipasi karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.

Saya paham bahwa mengurus anak itu bukan perkara mudah, tetapi pahamilah tidak semua orang mau menunggu selama itu. Akan menjadi semakin sungkan jika ternyata temanmu itu membawa suami turut serta.

Belum lagi ucapan-ucapan manis di antara mereka yang tak ingin saya dengar. Saya tau hubungan rumah tangga mereka berjalan harmonis, tetapi sepertinya tidak harus diberitahu ke orang-orang juga kan?

Inilah mengapa saya lebih memilih di rumah saja atau hangout sendirian. Demi menghindari hal-hal yang akan membuat jengah. Saya sadar kini semua punya jalannya masing-masing dan mereka mungkin sudah tidak seasyik dulu. Pertemanan ini rasanya memang sudah benar-benar berubah, setidaknya mungkin sampai ketika saya sudah menikah nanti.

0 komentar

Resepsi Pernikahan Mewah Sudah Tidak Relate dengan Kehidupan Saat Ini

 

unsplash.com/Shardayyy

Tradisi pesta pernikahan rasanya adalah sebuah fenomena tertinggi dalam sebuah keluarga. Banyak pasangan yang memilih menggelar pesta besar-besaran meski harus ‘ngutang dulu’. Terlalu banyak permintaan keluarga yang harus begini dan begitu hingga akhirnya over-budget. Habis pesta rakyat baru deh keteteran uangnya udah kandas.

Sebenarnya bukan masalah mampu atau tidak mampu menggelar pesta yang besar dan mewah. Tetapi terkadang gengsi memang mahal harganya demi menjaga nama baik keluarga dari omongan tetangga. Ya, lucu memang karena rasanya kita banyak bertanggung jawab dalam memenuhi ekspektasi orang lain.

Tetapi nampaknya hidup di era baru yang mengharuskan untuk selalu berdampingan dengan ancaman pandemik ini bisa menggeser tatanan kehidupan. Pasalnya, banyak orang ‘terselamatkan’ dari pesta gengsi yang selama ini diagung-agungkan.

Kenapa bisa begitu?

Ya, karena tak sedikit juga orang yang berbahagia akibat pandemik ini karena tidak harus menggelar pesta pernikahan. Modal untuk kehidupan baru bisa dihemat berkali-kali lipat dibanding harus menggelar resepsi. Bayangkan saja berapa modal untuk sewa gedung, katering, baju pengantin, souvenir dan segala tetek bengek lainnya.

Belum lagi keadaan ekonomi saat ini yang masih sangat morat-marit, banyak pengusaha gulung tikar, daya beli masyarakat menurun, sulit mencari pekerjaan serta ancaman PHK yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Sederet masalah ekonomi masih berdampingan bersama masalah kesehatan yang menduduki puncak perbincangan di media.

Risiko tidak balik modal saat menggelar pesta mewah tentu akan menjadi ancaman yang nyata. Bagaimana tidak? Rasa takut masih menghantui banyak masyarakat yang kebingungan akan eksistensi virus yang mematikan ini. Bagi sebagian orang, menghadiri pesta akan sangat menakutkan karena harus berkerumun dengan banyak orang. Walaupun masih banyak juga orang yang abai dan menikmati acara kumpul-kumpul.

Terlebih lagi proteksi diri dengan menggunakan masker di acara pesta pernikahan itu seperti menjadi sebuah kemustahilan. Saat sampai di TKP mau tidak mau kamu harus melepas masker untuk mencicipi makanan yang rasanya sayang untuk dilewatkan, bukan?

Protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak) tidak akan berlaku di acara resepsi pernikahan, sebuah dilema memang. Faktanya ini memang terjadi, saya menyaksikan sendiri bagaimana resepsi pernikahan digelar baik itu di hotel maupun di pemukiman warga. Jangankan cek suhu tubuh sebelum memasuki tempat acara, pengantinnya saja menyalami setiap orang yang naik ke atas panggung. Eits, tentu tanpa sarung tangan dong, terbayang tidak ada berapa ratus orang yang datang??

Ironi sekali jika kita harus menyanggah bahwa semua orang telah melakukan prosedur kesehatan yang seharusnya. Tinggal kembali lagi ke pribadi masing-masing akan menyikapinya seperti apa. Bagi saya, menghadiri resepsi tidaklah masalah asal kita menjamin dan sadar akan keselamatan diri.

Jika memang rasanya tidak mungkin untuk tidak datang tetap bisa diakali kok. Saya lebih memilih datang, duduk dipojokan yang sepi dan pulang. Tidak perlu berlama-lama yang penting sudah ‘setor muka’ ke yang punya hajat. Memang keadaan seperti ini rasanya menjadikan orang sedikit tidak ramah dan agak egois. Tetapi mau bagaimana lagi, jika setiap orang tidak peduli lalu kapan kita bisa bertegur sapa dengan senyum lebar seperti dulu lagi??

Sungguh setiap orang pasti merindukan bisa kumpul-kumpul sama teman, berjabat tangan di setiap acara pertemuan dan bebas naik kendaraan umum tanpa batasan. Ah rasanya masih akan sangat lama menunggu waktu itu kembali. 

Itulah mengapa sebaiknya pada masa sekarang ini akan lebih elok rasanya jika pesta pernikahan diadakan secara sederhana saja. Mengundang orang-orang terdekat dengan jumlah terbatas. Toh, itu tidak menghapuskan momen kesakrakalan dari sebuah pernikahan.

Sekalipun kamu mampu untuk menggelar resepsi yang sangat mewah dan bergengsi tetapi cobalah untuk peduli. Sudah saatnya mengesampingkan ego dan rasa gengsi yang tidak akan ada habisnya. Selain bisa meminimalisir risiko penularan, menyederhanakan acara resepsi akan menambah keintiman acara.

Percayalah, perubahan itu harus dilakukan dari diri sendiri, klise memang tetapi setidaknya kamu sudah melakukan sebuah kebaikan paling tidak untuk dirimu sendiri. 

 
;