06/07/20

Kenapa Saat Butuh Bantuan Psikolog Orang pada Nyinyir “Lu Kurang Ibadah Sih!”

Stigma yang terbangun di masyarakat, perkara mau konsultasi ke psikolog kalau gak dibilang gila ya dibilang kurang ibadah. Sepertinya ada yang salah!

Source : https://unsplash.com/Sydney Sims


Berangkat dari banyak keresahan orang-orang dewasa ini yang katanya makin stres ngadepin hidup. Bingung kenapa rasanya masalah hidup bukannya berkurang malah kian hari kian bertambah. Stres, mudah marah, murung, nggak nafsu makan sampai berujung pada depresi.

Entah itu karena habis di PHK, ada masalah keluarga, masalah sama tetangga sampai berniat segera menghadap Yang Kuasa.  Lalu kemudian muncul ide bagaimana kalau mencari ‘bantuan’ agar bisa bebas dari beban mental tersebut. Jalan keluar yang diambil adalah pergi ke seorang psikolog. Atau kalau lebih parah lagi bisa dirujuk ke psikiater.

Eiits, tetapi tunggu dulu,, apa kata orang kalau ketahuan pergi ke psikolog atau psikiater?? Bisa dianggap gila ntar, atau bahasa halusnya dibilang “kurang mendekatkan diri pada Tuhan”. Berasa itu orang tau semua kegiatan ibadah yang pernah dilakukan diri ini. Lebih parah lagi dibilang kalau kurang iman karena hidupnya gak tenang.

Please lah, kenapa juga orang mau ke psikolog pake segala dikaitkan dengan kurangnya iman. Apa sih sebenarnya definisi dari iman yang kuat itu? Bukannya orang beriman juga punya perasaan sama seperti semua manusia? Bukankah keimanan juga bisa naik dan turun, lalu kenapa juga orang yang ke psikolog harus dikatain seperti tidak punya Tuhan?

Heelloo.. psikolog atau psikiater itu adalah praktisi kesehatan juga. Sama aja kayak dokter yang kerjanya nyembuhin pasien yang sakit. Psikolog hadir untuk membantu memecahkan segala keluh kesah terhadap urusan mentalmu yang sedang berantakan.

Kata orang, yang mengerti terhadap masalah diri sendiri adalah ya kita sendiri. Jadi yang mampu menyembuhkan segala problematika diri adalah kembali lagi ke diri kita. Iyaa kalau problemnya cuma sebatas ‘duh ngantuk nih, harus gimana cara ngilanginnya ya?’, ‘oh iya coba tidur ahh..’ dan masalah pun terselesaikan dengan mudah.

Kalau bisa dengan begitu mudah menyelesaikan masalah mental tentu angka bunuh diri tidak akan meningkat setiap tahunnya. Lihat tuh negara-negara tetangga, ada Jepang dan Korea Selatan yang punya angka bunuh diri fantastis.

Sampai-sampai kalau kamu jalan di sepanjang Sungai Han ada semacam telepon umum yang bisa kamu gunakan untuk bercerita ke seseorang saat punya masalah. Sehingga kamu bisa mengurungkan niat untuk terjun dari atas Sungai Han.

Begitu konsennya negara Korea Selatan terhadap peningkatan angka bunuh diri tersebut. Sehingga seharusnya hal ini juga dapat dijadikan contoh di negeri tercinta ini. Negeri yang katanya masyarakatnya paling ramah, paling suka membantu, paling suka ikut campur urusan orang lain juga tentunya.

Tetapi cuma buat meramaikan saja dan jadi bahan gosip saat nongkrong di tukang sayur. Yaah begitulah potret negeri yang masyarakatnya super ini. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian siapa yang harus disalahkan??

Ya tentu bukan salah siapa-siapa sih, karena ini kan sudah jadi budaya. Budaya yang diwariskan secara turun-temurun dari dahulu kala. Budaya yang mudah menjudge dan mikir yang nggak-nggak tanpa tahu keseluruhan cerita dan situasinya.

Kemudian balik lagi, bagaimana nasib orang-orang yang membutuhkan ‘bantuan’ tadi? Ya terpakasa harus diam-diam saja memendam masalahnya sendiri, sampai ada Jin Aladin yang datang dan bilang “sebutkan tiga permintaanmu, maka akan ku kabulkan..haha”.

Mengubah pola pikir itu sulit teman, beginilah risiko kalau hidup di tengah masyarakat yang masih menganggap kesehatan mental itu tabu. Padahal kesehatan mental itu penting banget loh, kalau dibandingin dengan Australia saja, setiap minggunya ada ratusan orang yang datang ke psikolog. Salah satunya karena beban kerja mereka yang sangat tinggi, katanya kerja disana seperti mesin, tidak ada senyam-senyum ramah seperti disini.

Lagipula pergi konsultasi dengan para ahli itu sudah biasa bagi mereka. Terkadang ada yang konsultasi bagaimana cara mengatur amarah (anger management), masalah tidur (sleeping disorder), bahkan sesederhana masalah gangguan makan (eating disorder). Kesehatan mental itu sekali lagi bukan masalah gangguan jiwa semata, ada buanyaaak banget yang bisa dikaitkan dengan kesehatan mental.

Dan yang pasti di negara sana tidak pernah ada yang bilang kalau pergi ke psikolog itu karena mereka kurang ibadah. Padahal sebagian dari mereka itu agnostik alias tak beragama tetapi meyakini adanya Tuhan.

Memang benar semakin kita mendekatkan diri kepada Tuhan YME maka kita akan semakin merasakan ketenangan. Tetapi sudut pandang kali ini berbeda, karena diri sendiri merasa ada yang tidak beres dari jiwanya. Dan pastinya diri sendiri sudah tidak mampu untuk mengobati sendiri terhadap masalah yang timbul tersebut.

Sehingga berkonsultasi dengan ahlinya adalah sebagai salah satu jalan keluar. Bukankan itu juga jadi bagian dari ikhtiar atau pun usaha untuk sembuh? Lalu mengapa masih harus dikatakan tabu oleh sebagian besar pandangan orang?

Sudah saatnya kita lebih memberi prioritas terhadap kesehatan mental. Coba lihat lingkungan sekitar, bantulah saat orang terdekat sedang butuh dukungan moril. Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri?

0 komentar:

Posting Komentar

 
;