Stigma yang
terbangun di masyarakat, perkara mau konsultasi ke psikolog kalau gak dibilang
gila ya dibilang kurang ibadah. Sepertinya ada yang salah!
![]() |
| Source : https://unsplash.com/Sydney Sims |
Berangkat dari banyak keresahan orang-orang dewasa ini
yang katanya makin stres ngadepin hidup. Bingung kenapa rasanya masalah hidup
bukannya berkurang malah kian hari kian bertambah. Stres, mudah marah, murung,
nggak nafsu makan sampai berujung pada depresi.
Entah itu karena habis di PHK, ada masalah keluarga,
masalah sama tetangga sampai berniat segera menghadap Yang Kuasa. Lalu kemudian muncul ide bagaimana kalau
mencari ‘bantuan’ agar bisa bebas dari beban mental tersebut. Jalan keluar yang
diambil adalah pergi ke seorang psikolog. Atau kalau lebih parah lagi bisa
dirujuk ke psikiater.
Eiits,
tetapi tunggu dulu,, apa kata orang kalau ketahuan pergi ke psikolog atau
psikiater?? Bisa dianggap gila ntar, atau bahasa halusnya dibilang “kurang mendekatkan diri pada Tuhan”.
Berasa itu orang tau semua kegiatan ibadah yang pernah dilakukan diri ini. Lebih
parah lagi dibilang kalau kurang iman karena hidupnya gak tenang.
Please
lah, kenapa juga orang mau ke psikolog pake segala dikaitkan dengan kurangnya
iman. Apa sih sebenarnya definisi dari iman yang kuat itu? Bukannya orang
beriman juga punya perasaan sama seperti semua manusia? Bukankah keimanan juga
bisa naik dan turun, lalu kenapa juga orang yang ke psikolog harus dikatain seperti
tidak punya Tuhan?
Heelloo..
psikolog atau psikiater itu adalah praktisi kesehatan juga. Sama aja kayak
dokter yang kerjanya nyembuhin pasien yang sakit. Psikolog hadir untuk membantu
memecahkan segala keluh kesah terhadap urusan mentalmu yang sedang berantakan.
Kata orang, yang mengerti terhadap masalah diri
sendiri adalah ya kita sendiri. Jadi yang mampu menyembuhkan segala
problematika diri adalah kembali lagi ke diri kita. Iyaa kalau problemnya cuma
sebatas ‘duh ngantuk nih, harus gimana
cara ngilanginnya ya?’, ‘oh iya coba
tidur ahh..’ dan masalah pun terselesaikan dengan mudah.
Kalau bisa dengan begitu mudah menyelesaikan masalah
mental tentu angka bunuh diri tidak akan meningkat setiap tahunnya. Lihat tuh
negara-negara tetangga, ada Jepang dan Korea Selatan yang punya angka bunuh
diri fantastis.
Sampai-sampai kalau kamu jalan di sepanjang Sungai Han
ada semacam telepon umum yang bisa kamu gunakan untuk bercerita ke seseorang
saat punya masalah. Sehingga kamu bisa mengurungkan niat untuk terjun dari atas
Sungai Han.
Begitu konsennya negara Korea Selatan terhadap
peningkatan angka bunuh diri tersebut. Sehingga seharusnya hal ini juga dapat
dijadikan contoh di negeri tercinta ini. Negeri yang katanya masyarakatnya
paling ramah, paling suka membantu, paling suka ikut campur urusan orang lain
juga tentunya.
Tetapi cuma buat meramaikan saja dan jadi bahan gosip
saat nongkrong di tukang sayur. Yaah begitulah potret negeri yang masyarakatnya
super ini. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian siapa yang harus disalahkan??
Ya tentu bukan salah siapa-siapa sih, karena ini kan
sudah jadi budaya. Budaya yang diwariskan secara turun-temurun dari dahulu
kala. Budaya yang mudah menjudge dan mikir yang nggak-nggak tanpa tahu
keseluruhan cerita dan situasinya.
Kemudian balik lagi, bagaimana nasib orang-orang yang membutuhkan
‘bantuan’ tadi? Ya terpakasa harus diam-diam saja memendam masalahnya sendiri,
sampai ada Jin Aladin yang datang dan bilang “sebutkan tiga permintaanmu, maka akan ku kabulkan..haha”.
Mengubah pola pikir itu sulit teman, beginilah risiko
kalau hidup di tengah masyarakat yang masih menganggap kesehatan mental itu
tabu. Padahal kesehatan mental itu penting banget loh, kalau dibandingin dengan
Australia saja, setiap minggunya ada ratusan orang yang datang ke psikolog.
Salah satunya karena beban kerja mereka yang sangat tinggi, katanya kerja
disana seperti mesin, tidak ada senyam-senyum ramah seperti disini.
Lagipula pergi konsultasi dengan para ahli itu sudah
biasa bagi mereka. Terkadang ada yang konsultasi bagaimana cara mengatur amarah
(anger management), masalah tidur (sleeping disorder), bahkan sesederhana
masalah gangguan makan (eating disorder).
Kesehatan mental itu sekali lagi bukan masalah gangguan jiwa semata, ada buanyaaak banget yang bisa dikaitkan
dengan kesehatan mental.
Dan yang pasti di negara sana tidak pernah ada yang
bilang kalau pergi ke psikolog itu karena mereka kurang ibadah. Padahal
sebagian dari mereka itu agnostik alias tak beragama tetapi meyakini adanya
Tuhan.
Memang benar semakin kita mendekatkan diri kepada
Tuhan YME maka kita akan semakin merasakan ketenangan. Tetapi sudut pandang
kali ini berbeda, karena diri sendiri merasa ada yang tidak beres dari jiwanya.
Dan pastinya diri sendiri sudah tidak mampu untuk mengobati sendiri terhadap
masalah yang timbul tersebut.
Sehingga berkonsultasi dengan ahlinya adalah sebagai
salah satu jalan keluar. Bukankan itu juga jadi bagian dari ikhtiar atau pun
usaha untuk sembuh? Lalu mengapa masih harus dikatakan tabu oleh sebagian besar
pandangan orang?
Sudah saatnya kita lebih memberi prioritas terhadap
kesehatan mental. Coba lihat lingkungan sekitar, bantulah saat orang terdekat sedang
butuh dukungan moril. Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika
mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri?



0 komentar:
Posting Komentar